NAVIGASI MENU

Mengubah Limbah Jadi Rupiah

Sumber: Indosiar.com 13 Desember 2005

Kekayaan laut Indonesia telah lama digunakan sebagai sumber penghidupan masyarakat. Anugerah yang seolah tak ada habisnya inilah, yang memberikan kesempatan pada manusia untuk terus mengarungi hidup. Tapi seiring dengan berkembangnya jaman, eksploitasi hasil laut selain membawa berkah juga menimbulkan masalah. Salah satunya keberadaan limbah ikan.


Hasil olahan pabrik yang berskala besar, seringkali menyisakan gunungan sampah yang mengundang penyakit. Namun lambat laun, di beberapa wilayah ditanah air limbah sisa pengolahan produk ikan diolah lagi hingga tidak terbuang dan mencemari lingkungan. Sesuatu yang mungkin tak terbayangkan sebelumnya.

Hampir setiap hari, limbah ini dihasilkan pabrik pengolahan perikanan yang berada di Muara Baru, Jakarta Utara. Awalnya, sisa-sisa ikan yang tak bisa diolah di pabrik ini hanya teronggok tak tersentuh. Warga yang tinggal disekitarnya pun, tidak tahu harus diapakan. Padahal, ikan yang sudah menjadi limbah ini bila dibiarkan menumpuk, akan menimbulkan pencemaran bau yang menyengat akibat proses pembusukan protein ikan. Bahkan menjadi sumber penyakit menular terhadap manusia yang ditularkan oleh lalat. Muntaber, adalah salah satunya.

Untunglah, kini kondisi itu bisa diminimalkan. Berkat kejelian Yunus dan Udin, warga Muara Baru, Jakarta Utara, limbah ini akhirnya bisa dimanfaatkan, bahkan menghasilkan uang. Usaha yang ditekuni Yunus dan Udin sejak tahun 90-an ini, sekarang telah mempekerjakan 30 orang. Dengan bekerja secara borongan, tiap harinya para pekerja ini bisa mengantongi antara 20 ribu hingga 30 ribu rupiah.

Minimal tiga kali sehari, limbah ikan didatangkan dari pabrik, dalam keadaan masih segar. Tidak gratis. Karena mereka harus membeli dari pabrik dengan harga hingga Rp 1500 per ikan. Bagian limbah yang bisa dimanfaatkan antara lain ada pada bagian kepala. Daging yang tersisa pada bagian sirip dan tulang ikan juga dikorek-korek. Selintas tidak terbayang, siapa yang mau memanfaatkannya.

Tapi ternyata peminatnya banyak. Karena walaupun disebut limbah, sesungguhnya ikan-ikan ini bukan sampah dalam arti sebenarnya. Namun karena mesin pabrik tak bisa mengolahnya lagi, sehingga terbuang percuma.

Menjelang sore, para pembeli mulai berdatangan. Biasanya mereka telah memesan daging-daging ikan terlebih dulu, agar tidak kehabisan. Harga perkilogramnya bervariasi. Termahal adalah bagian kepala atau otak, yang bisa mencapai Rp 8 ribu atau lebih. Oleh para pembeli, sisa daging ini dimanfaatkan untuk membuat siomay, bakso ikan, atau untuk lauk sehari-hari.

Dari hasil penjualan ini, keuntungan bersih perharinya bisa mencapai Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu. Kepala dan tulang ikan yang sudah dikorek dagingnya ini, selanjutnya tidak dibuang begitu saja. Ada pihak yang menampungnya. Limbah akhir dari ikan-ikan ini nantinya akan dimanfaatkan untuk bahan campuran pakan ternak, setelah melalui proses tertentu.

Mungkin, Yunus dan Udin tak pernah menyangka upaya yang mereka rintis ini selain memberikan penghidupan kepada mereka dan para pekerjanya, juga sudah memberikan sumbangan berarti terhadap terpeliharanya lingkungan. Bayangkan, bila limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan ikan setiap harinya tidak dimanfaatkan lagi, limbah ini akan menumpuk tak terkendali setiap harinya.

Selain tak sedap dipandang mata, karena akan terlihat kumuh, udara juga akan tercemar oleh bau tak sedap. Bukan tidak mungkin, bencana kesehatan akan menimpa masyarakat yang tinggal disekitar tempat menumpuknya limbah.

Bau anyir menyengat langsung tercium begitu memasuki lokasi pembuatan pakan ternak, dari limbah ikan dikawasan Muara Angke, Jakarta Utara. Hampir setiap hari, asap putih terlihat mengepul disekitar lokasi. Disinilah hasil laut berupa kepala dan tulang ikan, cangkang kepiting, kepala dan kulit udang, diproses menjadi bahan baku pakan ternak bergizi tinggi. Usaha ini kepunyaan Haji Agus bersama saudaranya, yang dirintis sejak tahun 1998.

Setiap malam, limbah ikan yang sudah dikerok dagingnya dari Muara Baru, Jakarta Utara, didagangkan ketempat ini. Limbah berupa kepala ikan tuna beserta tulangnya dibeli dengan harga sekitar Rp 700 per-ekor. Sedangkan limbah udang atau cangkang kepiting perkilonya dibeli dengan harga Rp 150. Pemasok limbah udang dan kepiting, kebanyakan adalah restoran-restoran besar.

Proses pembuatan bahan baku pakan ternak, diawali dengan perebusan limbah ikan tuna, udang dan kepiting secara terpisah. Minimal direbus selama 8 jam sehari, agar tulang-tulang tersebut menjadi lunak. Makin lama direbus, makin tinggi nilai gizinya.

Limbah yang sudah direbus, dijemur hingga kering. Yang sulit, bila musim penghujan tiba, hasil rebusan jadi susah kering, yang menyebabkan belatung disana sini. Sehingga harus dijemur ulang selama beberapa hari, supaya bisa benar-benar kering siap untuk dipasarkan.

Pada awal usaha ini berdiri, Haji Agus hanya memasok kebutuhan pakan ternak untuk warga sekitar Muara Angke yang banyak beternak itik. Lambat laun usahanya berkembang. Berkat suntikan modal yang diperoleh dari Koperasi Kesatuan Pekerja dan Nelayan Samudera Indonesia, pangsa pasar pakan ternak Haji Agus pun meluas hingga keluar kota. Tempat usaha yang semula menempati seluas 200 m2, berkembang hingga 500 m2.

Pekerjaan mendaur limbah yang semula dikerjakan sendiri, kini diserahkan kepada pekerjanya yang berjumlah 20-an orang. Kejelian Haji Agus melihat peluang usaha, telah mengantarkannya beribadah haji. Selain itu ia juga berhasil membuka lahan pekerjaan baru.

Ternyata limbah ikan tak selamanya menjadi petaka bagi manusia, bila kita tahu cara menanganinya dengan benar. Tidak akan ada lagi limbah ikan yang terbuang dan mengganggu lingkungan, karena semuanya bisa dimanfaatkan dan memiliki nilai ekonomi.

Warga Desa Cicinde Utara, Kecamatan Banyusari, Kabupaten Kerawang, tengah bersuka. Mereka sedang panen lele. Beternak lele didesa ini mulai jadi usaha yang dilirik sejak sekitar tahun 90-an. Siapa sangka, ini semua gara-gara adanya sisa pengolahan ikan yang tadinya menumpuk di kawasan ini.

Dulu Desa Cicinde Utara, walaupun letaknya jauh dari laut, dikenal sebagai desa yang kebanyakan warganya menjadi pembuat cuwek atau ikan pindang. Berbagai macam jenis ikan seperti tongkol, bandeng, mujair dan kembung, diolah menjadi pindang disini. Ikan pindang produk mereka distribusikan ke berbagai daerah, khususnya ke wilayah Jakarta. Hasil pindang warga Cicinde Utara, bagaimanapun meninggalkan sisa pengolahan yang menjadi limbah.

Dulu, limbah-limbah ikan ini dibuang ke sungai atau dikubur. Tak jarang, akhirnya menumpuk tak terurus karena banyaknya. Konon dalam sehari limbah pemindangan hasil usaha rumahan warga ini, bisa mencapai 1,5 ton.

Adalah Haji Parno, warga Cicinde Utara yang memulai upaya pemanfaatan limbah ikan. Ia bukan hanya mengolah limbah, tapi juga dikembangkan dengan beternak lele. Limbah ikan yang tidak digunakan dalam proses pemindangan seperti kepala dan jerohan atau organ bagian dalam ikan, yang semula dibuang kini dimanfaatkan untuk pakan lele. Ditempat ini, limbah itu juga direbus terlebih dahulu.

Pakan dari limbah ikan yang sudah diolah ini, menjadi santapan bagi ribuan lele yang tersebar disekitar tiga ratusan kolam di desa. Sedikitnya, 150 KK mendapat nilai tambah dengan memanfaatkan limbah ikan dan beternak lele. Bahkan bagi mereka yang tidak memiliki kolam lele, hasil olah limbah ikannya dihargai 40 ribu rupiah per karungnya. Pemasukan tambahan yang sebelumnya tidak terbayangkan.

Dari upaya coba-coba yang dilakukan Haji Parno dengan memanfaatkan limbah sisa pengolahan ikan pindang ini, kini ternyata berkembang serius. Karena pengolahan limbah ikan pula, Desa Cicinde kini juga dikenal sebagai desa peternak lele, yang selain dipasarkan ke pasar-pasar sekitar juga telah menembus ibukota.

Saat-saat panen, adalah saat yang dinanti para pemilik kolam untuk mengetahui seberapa besar lele peliharaan mereka. Pemandangan saat panen, yang biasa mereka sebut "ngangkat", juga menjadi tontonan menarik bagi warga sekitar.

Lele-lele ini, selanjutnya dipilih dan dipilah. Pertama dicari lele yang bila ditimbang dalam setiap kilogramnya terdapat sekitar 7 atau 8 ekor lele. Ukuran inilah, yang paling laku dipasaran dengan harga paling tinggi. Ukuran lele yang lebih besar, biasanya harganya lebih. Sedangkan lele yang masih terlalu kecil, dimasukkan lagi kedalam kolam. Lele yang telah ditimbang dibawa dengan kendaraan yang dirancang khusus untuk transportasi ikan.

Keinginan warga di Muara Baru, Muara Angke dan Cicinde Utara, untuk membebaskan diri dari kukungan limbah ikan, terbukti memberikan hasil positif. Limbah ikan dapat ditangani dengan baik, sementara warga pun mendapat masukan tambahan. Sebuah kombinasi yang hanya bisa didapat dengan adanya kreatifitas dan keinginan untuk memperbaiki keadaan. Limbah ikan pun tidak lagi dibenci, justru dinanti. Memang, bila kita membuka mata niscaya jalan pun terbuka.(Idh)

Link:
www.indosiar.com

0 komentar klik di sini: