NAVIGASI MENU

Hari Bebas Kendaraan Bermotor Hanya Mengalihkan Polusi?


Oleh M CLARA WRESTI

Hari Bebas Kendaraan Bermotor Internasional yang jatuh tanggal 22 September diperingati DKI Jakarta lebih dulu dengan menyelenggarakan HBKB di Jalan Pramuka, Jakarta Timur, pada Minggu (14/9).

Semua kendaraan yang datang dari Jalan Salemba, Jalan Matraman Raya, atau dari Jalan Matraman dilarang masuk ke Jalan Pramuka. Demikian juga kendaraan dari Jalan Ahmad Yani dan Jalan Pemuda, tidak boleh masuk ke jalan itu.

Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) ini dilakukan untuk menerapkan amanat Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Penanggulangan Pencemaran Udara. Caranya berbagai macam, yakni penerapan pengujian dan perawatan kendaraan bermotor, peningkatan sarana dan prasarana angkutan umum massal, pemanfaatan kualitas udara, penerapan kawasan dilarang merokok, apresiasi kawasan rendah emisi, dan HBKB.

HBKB ini terbukti sangat efektif untuk menurunkan tingkat pencemaran udara di suatu wilayah. Dari beberapa kali penyelenggaraan HBKB di Jalan Sudirman-Thamrin diketahui penurunan polusi mencapai 35-60 persen. Polusi yang terlihat menurun adalah partikel debu (PM10), karbon monoksida (CO), dan nitrogen oksida (NO).

Dari HBKB di Jalan Sudirman Thamrin yang diselenggarakan 30 Desember 2007 tercatat penurunan PM 10 mencapai 31,35 persen, CO mencapai 67,59 persen, sedangkan NO mencapai 60,88 persen. Untuk HBKB di Jalan Pramuka ini belum bisa diketahui karena masih harus mengukur polusi udara setelah tujuh hari kemudian.

Menurut Jannen Napitupulu, Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jakarta Timur, ”Pengukuran dilakukan tujuh hari sebelum, hari H, dan tujuh hari setelah hari H. Dari situ bisa terlihat penurunannya seberapa jauh.”

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo telah berencana menggelar HBKB ini setiap minggu di seluruh wilayah Jakarta. Tujuannya untuk meningkatkan kebiasaan masyarakat mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan menikmati udara bersih.

”Frekuensi HBKB ditingkatkan agar kualitas udara Jakarta menjadi lebih bersih. Dengan cara ini, kesehatan masyarakat banyak juga dapat ditingkatkan,” kata Fauzi Bowo, Kamis (11/9).

Kesadaran warga untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi juga harus terus ditingkatkan. Warga harus didorong untuk menggunakan non-motorized transport seperti berjalan kaki dan bersepeda, lalu menggunakan angkutan umum massal untuk jarak tempuh yang tidak mungkin dilakukan dengan jalan kaki atau bersepeda.

Ekses Negatif
Namun, penerapan Perda No 2/2005 ternyata mempunyai ekses negatif yang dirasakan warga, antara lain kemacetan dan kerugian usaha. Kemacetan lalu lintas berpindah ke jalan lain di sekitarnya dan tentu peningkatan polusi udara terjadi di lokasi ini.

Seperti yang terjadi hari Minggu lalu, penutupan jalan ini membuat kendaraan yang akan melintas mencari jalan alternatif. Pada penerapan di Jalan Pramuka, banyak kendaraan warga yang terjebak di kawasan padat Kayumanis. Mereka terjebak di kawasan yang juga mempunyai jalur kereta api yang sangat padat. Akibatnya, polusi udara dari kendaraan bermotor menumpuk di kawasan Kayumanis yang merupakan kawasan hunian.

Selain itu banyak usaha seperti hotel, rumah makan, dan stasiun pengisian bahan bakar untuk umum di Jalan Pramuka yang terpaksa menelan kerugian karena tidak bisa beroperasi hingga pukul 14.00. Seorang manajer toko di kawasan Sudirman, yang tidak mau disebut namanya, mengaku tokonya hanya mendapatkan pemasukan Rp 30 juta setiap kali HBKB dilaksanakan di Jalan Sudirman.

”Hari Minggu itu harinya orang berbelanja bersama keluarga. Dengan adanya HBKB, orang sulit datang ke kami. Jika tidak ada HBKB, toko kami bisa mendapatkan Rp 200 juta pada hari Minggu,” kata dia.

Wahyu, seorang karyawan bengkel mobil di Jalan Pramuka, mengatakan, biasanya hari Minggu adalah hari dia mendapatkan uang tip. Pada hari Minggu, banyak orang yang memperbaiki mobil atau sekadar mengecek mobil di bengkel. Semakin banyak mobil yang datang, semakin banyak tip yang bisa didapatkan dia. Namun pada hari HBKB di Jalan Pramuka, otomatis pendapatan Wahyu menurun drastis.

Menurunnya penghasilan ini tidak hanya dirasakan Wahyu karena di jalan itu sekarang mulai berkembang menjadi pusat otomotif. Setidaknya ada 10 bengkel mobil berdiri di jalan itu.

Tidak Cukup
Tujuan dilaksanakan HBKB memang bagus. Namun, pemerintah sebaiknya tidak cukup hanya mengetahui berapa besar penurunan pencemaran udara dengan dilakukannya HBKB. Pemerintah juga perlu tahu dampak negatifnya.

Pemerintah sebaiknya juga secara simultan melakukan perbaikan di segala bidang untuk menyehatkan udara di kota yang dihuni lebih dari 12 juta orang ini.

Mewujudkan pembangunan sarana angkutan umum yang layak bagi warga, hingga warga rela meninggalkan kendaraannya di rumah, harus dikedepankan.

Selain itu, penerapan sanksi hukum yang tegas juga perlu dilakukan. Indonesia sudah terkenal sebagai negara yang pintar membuat peraturan, namun lemah dalam penerapannya. Banyak peraturan bagus telah disahkan, namun setelah itu tidak ketahuan keberadaannya.

Misalnya saja, masih banyak kendaraan yang sistem pembakarannya tidak baik berjalan tanpa teguran. Akibatnya, asap hitam tebal tetap mencemari udara, padahal sudah ada ketentuan yang mengatur tiap tahun setiap kendaraan, terutama angkutan umum, menjalani uji kir.

Salah satu contoh lain yang cukup mencolok adalah perda larangan merokok di tempat umum. Sekarang mana penerapannya?

Sumber: KOMPAS Cetak 16 Sept 2008

0 komentar klik di sini: